A. Pendahuluan
- Latar belakang masalah
Undang-undang Dasar 1945 menegaskan, ”Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”...selanjutnya ”Pemerintah mengusahakan serta menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang di atur dengan Undang-Undang” (Pasal 31). Realisasi UUD-1945 pasal 31 ini, negara telah menetapkan suatu sistem pendidikan nasional seperti tetuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sisdiknas menegaskan dasar hukum untuk membangun pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini merupakan jawaban tuntutan reformasi di Indonesia yang secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prinsip desentralisasi pendidikan memberikan pengaruh pada besarnya kewenangan (otonomi) pelaksana pendidikan dalam hal ini sekolah dalam upaya melaksanakan kurikulum sesuai standar nasional yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan, dalam konteks ini adalah pelaksanaan kurikulum di tingkat sekolah (KTSP) dan guru yang berkualitas merupakan ujung tombaknya. Peningkatan kualitas pendidikan secara nasional sangat berpengaruh terhadap kualitas sekolah dan guru.
Tuntutan kurikulum sesuai Standar Isi (SI) yang berisi tentang kemampuan minimal (learning minimum competencies) diharapkan dikuasai oleh seluruh anak bangsa mulai dari Sabang sampai Merauke. Kemampuan kualitas pendidikan yang diharapkan harus dapat menjawab tuntutan kekinian yaitu zaman konseptual sebagai titik anjak (point of departure), yaitu: lingkup lokal kepada masyarakat dunia (from the local to a world society), keterpaduan sosial kepada partisipasi demokrasi (from social cohesion to democratic participation), dari pertumbuhan ekonomi kepada pengembangan manusia (from economic growth to human development) (UNESCO, 1996). Terbentuknya masyarakat madani (civil society) di masa yang akan datang merupakan masyarakat yang tidak saja memiliki kemampuan dan keterampilan yang tinggi tetapi juga memiliki etika dan moral/karakter yang sesuai dengan ragam budaya multikultur bangsa Indonesia. Pentingnya pendidikan etika dan moral didasari oleh meningkatnya peran profesionalisme dan orientasi desentralisasi. Kondisi ini merupakan target pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai titik tiba (point of arrival).
- Permasalahan
Sistem penyampaian kebijakan pemerintah tentang kurikulum dan pemantauannya mencakup aspek-aspek cara penyebaran informasi, penguatan pelayanan profesional dan model pemantauan kurikulum secara keseluruhan berada dalam suatu sistem yang dinamis. Churchman (1968) menjelaskan dalam pendekatan sistem (the systems approach) bahwa sistem yang dinamis akan melakukan reaksi dimana sistem tersebut diterapkan untuk melakukan perbaikan atau modifikasi dengan mempertimbangkan aspek-aspek, seperti efficiency, science, humanist, anti-planners. Sistem penyampaian kebijakan kurikulum merupakan upaya untuk menyebarluaskan secara terpogram kurikulum baik sebagai dokumen maupun isi dan arah serta pendekatan yang digunakan oleh guru dan pihak terkait lainnya melalui sistem pembinaan pelayanan profesional. Selanjutnya, pemantauan kurikulum merupakan upaya untuk memperoleh informasi mengenai sampai tidaknya kurikulum baik secara dokumen maupun isi dan arah serta pendekatan yang ditetapkan.
Upaya penyampaian kebijakan kurikulum pada dasarnya dimaksudkan agar pembina pendidikan mulai dari tingkat pusat sampai daerah harus memiliki pandangan dan pemahaman yang sama dengan pelaksana di tingkat sekolah, yaitu guru. Coburn (2002) menjelaskan bahwa guru melakukan adaptasi dan transfer kebijakan seperti apa yang mereka lakukan di kelas melalui suatu proses sosial. Meskipun keterlibatan peran kepala sekolah dalam hal ini untuk mengoperasionalkan kebijakan pusat masih relatif kurang. Beberapa permasalahan yang ditemukan dalam menerjemahkan kebijakan pusat diuraikan berikut. Pertama, luasnya jangkauan penyebaran kebijakan informasi ditinjau letak geografis kewilayahan Indonesia. Kedua, beragamnya tingkat pemahaman dalam menerima ide pembaharuan baik dari segi intelektualitas maupun struktur jabatan sebagai pembina dan pelaksana kurikulum. Ketiga, pemberdayaan Tim Pengembang Kurikulum (TPK) yang sudah terbentuk di seluruh provinsi (33) dan kabupaten/kotamadya (465) sesuai Surat Edaran No. 33/MPN/2007 tentang pembentukan TPK belum menunjukkan hasil optimal sesuai tugas dan fungsinya.
B. Pengembangan Kurikulum di Tingkat Satuan Pendidikan
Pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan (KTSP) memberikan konsekuensi logis sekolah melakukan pengembangan kurikulum yang tidak semata-mata menurut Fullan (1993, 1999) melakukan restructuring tetapi yang lebih penting ialah reculturing terhadap perubahan beliefs & habits guru (dalam Fullan, 2001). Secara khusus yaitu menyajikan pendekatan profesional (professional approach) terhadap kemampuan keahlian (expertise) guru dan pengawas serta unsur lainnya yang terlibat dalam TPK. Professional development perlu mempertimbangkan penguasaan materi pelajaran bagi guru terutama dalam pengembangan perangkat dokumen kurikulum, karena kurikulum pada hakikatnya disusun secara sistematis, hirarkis berdasarkan falsafah keilmuaan masing-masing bidang kajian. Standar nasional isi yang minimal harus dicapai peserta didik dari Sabang--Merauke merupakan standar excellence, accountability yang tentunya harus dipenuhi oleh sekolah. Tuntutan standar isi yang harus dikuasai oleh peserta didik ini menurut Apple (2001) dalam bukunya Educating the “Right’ Way sebagai official knowledge (Apple, 2001.)
Kita menyadari bahwa kajian kurikulum merupakan inti dari pendidikan seperti diungkapkan Eisner (1984) bahwa ”…the field of curriculum…resides at the very core of education” (dalam Pinar dkk, 1996). Peningkatan kualitas pendidikan memerlukan perubahan mendasar secara fundamental terutama mengenai apa yang siswa harus pelajari dan bagaimana mereka seharusnya belajar. Bila siswa diharapkan mencapai standar isi nasional sebagai minimum learning acquired pada setiap satuan pendidikan, maka guru perlu membantu siswa mencapai standar yang telah ditetapkan. Guru merupakan titik sentral dalam pembaharuan pendidikan dimana mereka harus memenuhi kualitas standar pendidikan untuk anak didiknya. Seperti di ungkapkan Cuban (1990) “Teachers are necessarily at the center of reform, for they must carry out the demands of high standards in the classroom.” (garis bawah oleh penulis).
Oleh karena itu, keberhasilan pembahuan pendidikan (educational reform) sebagian besar dipengaruhi oleh peran guru yang efektif dan berkualifikasi pendidikan tinggi sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan. Bertitiktolak dari alasan tersebut dan kajian beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengembangan profesi guru (teacher professional development) merupakan sentra utama dalam sistem pembaruan pendidikan (Corcoran, 1995; Corcoran, Shields, & Zucker, 1998). Untuk melaksanakan apa yang dituntut dalam pembaharuan pendidikan, guru harus terlibat dalam pengembangan mata pelajaran yang diajarkan dan memiliki kemampuan (ability) baik dalam menyampaikan pengetahuan dasar (basic knowledge) maupun mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi (advanced higher order thinking) dan kemampuan pemecahan masalah (problem solving-skills) kepada peserta didiknya (Loucks-Horsley, Hewson, Love, & Stiles, 1998; National Commission on Teaching & America’s Future, 1996). Hal pokok elemen pembaharuan pendidikan, seperti pencapaian standar, pengembangan kurikulum dan pendekatan baru penilaian yang disesuaikan dengan standar, ini semua berkorelasi signifikan pada tuntutan baru pada performansi guru kelas (teachers’ classroom behaviors) dan performasi peserta didik (student performance) (Baybee, 1993; National Council of Teachers of Mathematics, 1991; National Research Council, 1996; Webb & Romberg, 1994). Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa guru belum sepenuhnya memenuhi kualifikasi sesuai dengan tuntutan standar seperti yang diuraikan dalam standar kemampuan dan standar isi yang ditetapkan secara nasional.
C. Model Sistem Diseminasi (Penyebaran), Pembinaan & Pemantauan Kurikulum
Pada dasarnya proses diseminasi dalam menyampaikan kebijakan, pembinaan dan pemantauan pelaksanaan kurikulum merupakan suatu rangkaian utuh yang berurutan dan berkelanjutan. Proses diseminasi kebijakan perlu diikuti dengan pembinaan profesional terutama terhadap ‘kelompok profesional’ dalam konteks ini adalah TPK dan ditindaklanjutkan dengan proses pemantauan untuk program perbaikan di masa yang akan datang. Berikut beberapa model dalam penyampaian kebijakan diuraikan seperti berikut.
- Model penyampaian (delivery)
Perubahan mind set dalam penyelenggaraan kebijakan tentang pembelajaran yang inovatif melalui pembinaan profesional diperlukan pemahaman, kesadaran dan akhirnya guru melakukan perubahan prilaku nyata ketika mereka kembali bertugas di sekolah. Kekurang pahaman guru dalam mengartikan pembaharuan akan berdampak pada kesenjangan antara kebijakan yang diinginkan dan pelaksanaannya di sekolah. Penyebaran gagasan yang bersifat inovatif harus diketahui kapan tahapan ini telah dicapai. Apabila tahapan ini belum dicapai dan pembinaan serta dukungan kepada guru tidak dilakukan secara intensif maka kemungkinan besar guru tidak akan melakukan pembaharuan yang signifikan.
Ada 2 (dua) model dalam penyebaran informasi (kebijakan pemerintah), yaitu: 1) the Center-Periphery dan 2) the Proliferation of Centers. Model pertama bertitik tolak dari pusat (center) menuju pada target pelaksana. Dalam hal ini penetapan kebijakan langsung dikendalikan pusat, seperti kebijakan inovasi kurikulum kepada sekolah. Kritikan dari model terpusat ini adalah birokrasi dan tenaga kependidikan di tingkat pusat tersebut relatif jauh letak/tempat untuk memancarkan penyebaran sumber daya baru untuk menerima kebijakan yang bersifat sentralistik. Pada model tahap kedua, penyebaran kebijakan tidak selalu bertumpu pada pusat sebagai sumber utama tetapi terdapat beberapa sumber lain untuk menyebarkan kebijakan sebelum sampai kepada guru. Oleh karena itu, keberadaan struktur birokrasi administrasi di daerah, seperti provinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan harus diberdayakan secara optimal dalam penyebaran dan pelaksanaan kebijakan pusat.
Kedua model tersebut memiliki 4 (empat) komponen dalam pendekatan penyampaian melakukan diseminasi atau penyebaran kebijakan atau informasi baru, seperti: translocation, communication, animation dan re-education. Komponen translocation merupakan pergerakan orang-orang dan bahan kurikulum yang perlu diterapkan. Komponen kedua, yaitu communication adalah bagaimana informasi atau kebijakan baru tersebut dipindahkan dari satu orang kepada yang lain. Komponen animation, menguraikan keinginan untuk menyadarkan guru dan memberikan motivasi untuk terlibat aktif dalam pembaharuan pelaksanaan kurikulum. Reward perlu diberikan kepada guru pada komponen animation karena upaya yang dilakukan untuk melakukan perubahan yang signifikan dalam mengadopsi kebijakan baru. Komponen terakhir, yaitu re-education merupakan komitmen untuk melakukan penerapan dari kebijakan pemerintah.
Ke-empat komponen penyampaian/penyebaran informasi tersebut di atas memerlukan 3 (tiga) tahapan, yaitu receptivity, adoption, dan implementation. Tahapan pertama, receptivity atau menerima penyebaran memerlukan waktu yang relatif lama bagi guru untuk menerima informasi kebijakan baru. Tahapan kedua, yaitu adoption merupakan tahap perbaikan dalam menerima inovasi dalam kebijakan kurikulum. Selanjutnya, tahapan implementation merupakan tahapan dalam menerapkan kebijakan inovasi kurikulum dan melakukan perbaikan dalam proses pengembangannya.
- Pendekatan yang relevan
Pendekatan penyebaran kebijakan yang relevan dengan kontek desentralisasi pendidikan di Indonesia adalah pendekatan kedua, yaitu the proliferation of Centers dengan beberapa penyempurnaan karena sumber gagasan masih berasal dari pusat. Penyebaran kebijakan pusat dapat dimulai dari unit utama terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pembinaan bersama dengan unit pelaksana teknis.
Keberadaan TPK yang telah dibentuk oleh Pusat Kurikulum dalam waktu yang relatif lama sejak tahun 1991/92 yang dimulai dari tingkat provinsi dan selanjutnya berkembang pada tingkat kabupaten/kotamadya. TPK memiliki tugas, yaitu melakukan penjabaran isi kurikulum, melakukan pendapingan kepada satuan pendidikan lainnya, melakukan supervisi klinis serta pemantauan dan penilaian pelaksanaan kurikulum. Semenjak diberlakukan kurikulum baru yang mengacu pada Standar isi (SI) maka surat edaran No. 33/MPN/2007 merupakan landasan yuridis formal tentang keberadaan pembentukan TPK. Pada intinya TPK sesuai surat edaran tersebut melakukan sosialisasi Permendiknas No 22 (SI), No. 23 (standar kemampuan lulusan/SKL) dan No. 24 (SI & SKL).
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana TPK dapat dioptimalkan sesuai tugas dan fungsinya dengan mempertimbangkan model the proliferation centers dengan memberdayakan peran pusat, provinsi, kabupaten/kotamadya sampai tingkat kecamatan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait?
D. Beberapa Pendekatan & Pemberdayaan TPK
Keberadaan TPK sesuai model proliferation centers adalah kepanjangan tangan Pusat dalam hal ini Pusat kurikulum untuk melakukan pembinaan profesional kepada seluruh tenaga kependidikan di setiap satuan pendidikan. TPK berfungsi sebagai “Think Tank” di daerah yang pada prinsipnya membantu Dinas Pendidikan setempat dalam menjalankan kebijakan pusat. Beberapa pendekatan yang dapat dipertimbangkan dalam menjalankan kebijakan pusat pada intinya meminimalisasi kesenjangan antara kebijakan yang diinginkan pusat (intended policy) dan apa yang dilaksanakan atau dihasilkan pendidikan (implemented/achieved).
1. Beberapa pendekatan
Pertama, pendekatan hirarkhi (bureaucracy approach), merupakan hubungan vertikal yang menjelaskan bahwa pembinaan ke sekolah-sekolah dapat bersifat birokrasi. Kebijakan pusat sampai ke sekolah melalui beberapa tahapan yang di mulai dari tingkat provinsi, tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan dimana sekolah berada. Pelaksanaan SI sesuai dengan peraturan pemerintah No. 22 sebagai contoh merupakan kebijakan yang harus dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan. Pada akhir jenjang setiap satuan pendidikan, peserta didik akan di uji melalui Ujian Nasional yang mengacu pada SI. Kedua, pendekatan kolegial (collegial approach) bersifat hubungan horizontal yang menjelaskan/menyajikan/mendiskusikan informasi inovasi kepada teman-teman sejawat lainnya dengan penuh rasa keakrabatan sebagai teman sejawat tanpa memandang jabatan. Kerjsasama TPK dapat dilakukan antara kelompok TPK di provinsi dan kabupaten/kotamadya, pengawas, musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), Pusat Kegiatan Guru (PKG), Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), universitas setempat, serta kelompok kerja profesional, seperti: KKG, KKKS, KKPS.
Selanjutnya, ketiga adalah pendekatan profesional (expertise approach) dan pendekatan model (modeling approach). Kedua pendekatan ini memberikan penekanan perlunya TPK memiliki penguasaan materi bahan ajar dan model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik sekolah yang berpusat pada kegiatan belajar siswa (student centered) serta hakikat pengembangan kurikulum di tingkat sekolah (school-based curriculum development).
2. Pemberdayaan TPK
Pelaksanaan bantuan profesional (professional development) kepada TPK di daerah selama ini adalah upaya meningkatkan kualitas guru dan tenaga edukatif lainnya baik dalam pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan maupun pelaksanakannya di tingkat kelas. Kajian penelitian di negara lain menunjukkan bahwa tuntutan guru mengajar harus mengacu standar nasional, namun masih banyak guru belum dipersiapkan untuk bagaimana mengajar sesuai dengan kualifikasinya “However, although teachers generally support high standards for teaching and learning, many teachers are not prepared to implement teaching practices based on high standards (Cohen, 1990; Elmore & Burney, 1996; Elmore, Peterson, & McCartney, 1996; Grant, Peterson, & Shojgreen-Downer, 1996; Sizer, 1992).
Pengembangan profesional (professional development) merupakan topik kajian penelitian yang selalu berkembang selama hampir sepuluh tahun ini berkaitan dengan aspek pembelajaran guru (teacher learning) dan perubahan guru (teacher change). Namun demikian, penelitian yang berkaitan dengan pengembangan profesional yang bermutu tinggi (high-quality professional development) masih sangat terbatas. Beberapa studi yang relevan menyarankan bahwa pengalaman dalam pembinaan profesional sangat bermanfaat terutama terhadap pengaruh positif cara guru mengajar dalam kelas dan kemampuan siswa (Bybee, 1993). Untuk itu, perlu kita cermati hasil studi terutama manfaatnya dalam upaya kita untuk lebih memantapkan program pemberdayaan TPK di daerah melalui pengembangan profesional.
Salah satu hasil studi yang melibatkan 1027 guru Matematika dan IPA serbagai nasional probabilitas sampel menyajikan informasi empirik tentang pengaruh pembinaan profesional pada guru (American Educational Research Journal, Winter 2001, Vol. 38, No. 4, hal. 915-945). Studi menunjukkan 3 (tiga) gambaran aktivitas pembinaan profesional yang sangat signifikan dengan efek positif guru berkaitan dengan pengetahuan, kemampuan dan perubahan dalam pembelajaran di kelas, yaitu: (a)pengetahuan tentang materi pelajaran; (b)belajar aktif (active learning), dan (c)konsistensi dengan kegiatan pembelajaran lain. Selanjutnya, studi menyarankan bahwa pembinaan profesional perlu mempertimbangkan hal-hal seperti: (a)bentuk aktivitas pembinaan, antara lain: workshop, studi kelompok; (b) partisipasi kelompok guru lebih efektif apabila guru yang terlibat dalam pembinaan tersebut berasal dari sekolah, tingkatan kelas dan atau mata pelajaran yang relatif sama; dan (c) lamanya pembinaan yang dilakukan. Beberapa hal menarik dari studi tersebut dapat diuraikan berikut. Pertama, “best practice” pembinaan profesional dilakukan secara berkelanjutan dan intensif yang dapat memberikan manfaat bagi guru dibandingkan pembinaan secara singkat. Oleh karena itu disarankan agar pembinaan profesional perlu memfokuskan pada pemahaman materi pelajaran dan memberikan kesempatan guru untuk melakukan hands-on work dan pengalaman ini harus diintegrasikan secara konsisten pada kenyataan keseharian di sekolah/kelas. Hal ini secara langsung menghasilkan pengetahuan dan pengalaman langsung bagi guru yang sangat bermakna (Journal for Research in Mathematics Education, 27(4), hal. 403-434). Kedua, implikasi studi juga menjelaskan pentingnya pemahaman terhadap materi pelajaran dan partisipasi kolektif dan kesatuan aktivitas pembinaan profesional yang berarti bahwa aktivitas/kegiatan dalam upaya pembaharuan (reform efforts) dalam bentuk peningkatan komunikasi profesional (professional communication) antarguru sangat mendukung perubahan, seperti cara mengajar guru.
Mencermati hasil kajian studi tersebut di atas memberikan pengalaman empirik yang selanjutnya dapat kita refleksikan dalam pelaksanaan pembinaan bantuan profesional TPK dilakukan selama ini. Pemahaman guru terhadap materi pelajaran sangat signifikan dengan kemampuan mereka terutama dalam pengembangan dokumen kurikulum termasuk didalamnya silabus dan perangkat kurikulum lainnya. Pemahaman materi pelajaran yang oleh Schulman (1987) disebut sebagai “pedagogical content knowledge” perlu dikuasai dengan baik sesuai kaidah keilmuan dan benar dipergunakan dalam praktek kehidupan. Selanjutnya, penyajian materi kepada peserta didik perlu dikemas sedemikian rupa sesuai dengan metodologi pembelajaran yang sesuai dengan memperhatikan bagaimana seharusnya siswa belajar (learn how to learn), seperti: konsepsi awal siswa terhadap materi pelajaran (common student preconceptions), kesalahan konsep (misconceptions), dan strategi pemecahan masalah untuk mata pelajaran tertentu. Pentingnya hal tersebut didukung pula dari pendapat beberapa ahli yang menyebutkan bahwa pengembangan profesional memerlukan fokus ganda, yaitu pengetahuan isi materi pelajaran (knowledge of subject matter content) dan pemahaman tentang bagaimana cara siswa memahami spesfik materi pelajaran “…knowledge of the subject to select tasks that encourage students to wrestle with key ideas and knowledge of students’ thinking to select tasks that link with students’ experience and for which students can see the relevance of the ideas and skills they already posses.” (Hiebert, dkk, 1996. hal. 16).
Selain kemampuan tersebut, pembinaan profesional juga perlu memberikan kesempatan pada guru/TPK untuk melakukan kegiatan dalam bentuk pengembangan profesional (professional development activity), seperti keterlibatan dalam diskusi bermakna (meaningful discussion), melakukan perencanaan pembelajaran, dan praktek (baik dalam bentuk pengamatan cara mengajar guru yang berpengalaman maupun melakukan pratek pembelajaran di kelas), merencanakan materi pembelajaran, dan melakukan kajian penggunaan metode baru pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang disusun, serta melakukan kajian hasil kerja/karya siswa yang dapat digunakan sebagai bahan umpan-balik perbaikan kurikulum pada umumnya khususnya penyempurnaan cara pembelajaran.
Pendekatan expertise dalam pembinaan TPK di daerah memberikan pembelajaran bagi kita semua terutama dalam meningkatkan profesionalitas melalui professional development bantuan teknis. Hal ini memiliki konsekuensi logis terutama bagi Pusat Kurikulum di tingkat pusat untuk menyediakan materi/bahan kajian yang sesuai dengan kebutuhan konkrit di tingkat sekolah maupun penyiapan sumber daya manusianya. Sehingga harapan pembentukan tenaga profesional di tingkat daerah dan juga di tingkat sekolah dalam wadah built-in curriculum mechanism dapat memberikan bantuan profesional bagi guru lain pada setiap satuan pendidikan sehingga dapat diwujudkan kemajuan peserta didik seperti yang diamanatkan dalam UUD-1945 dan dapat berkompetisi secara global dan berahlak mulia. (EU-21Nov2010)
Review By : SUNARYO, M.Pd
Sekr K3S SAMUD
seepppp
BalasHapustambah lagi ya pak!!!